Sabtu, 19 Oktober 2013

MENGUCAPKAN AAMIIN KETIKA SHOLAT

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Seputar Mengucapkan Amin dalam Sholat
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Sholat merupakan rukun islam yang kedua, sebagaimana terdapat dalam hadits Jibril ‘alaihissalam,
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Wahai Muhammad beritahukanlah aku apa itu Islam?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Islam adalah engkau bersyahadat bahwasanya tiada sesembahan yang benar disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mengerjakan sholat, engkau menunaikan zakat (wajib bagimu[1]), engkau berpuasa pada Bulan Romadhon, engkau melaksanakan haji ke Mekkah jika engkau mampu[2]”.
Bahkan Sholat merupakan pembeda orang kafir dan orang muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya (pemisah) bagi seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat”[3].
Sehingga sedemikian pentingnya sholat dalam islam. Jika kita membaca kitab-kitab hadits maka akan sangat banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan sholat dan kedudukannya dalam islam.
Namun yang menjadi topik tulisan ringkas ini adalah masalah seputar mengucapkan Amin dalam sholat.
[Dalil disyariatkannya mengucapkan “Amin”]
Dalil disyariatkannya mengucapan amin adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِذَا قَالَ الإِمَامُ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ) فَقُولُوا آمِينَ
“Jika Imam telah mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ) maka ucapkanlah amin”[4].
Demikian juga dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا انْتَهَى مِنْ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ قَالَ : ( آمِيْن ) يَجْهَرُ وَيَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ
“Adalah merupakan kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam jika telah selesai membaca surat al fatihah beliau mengucapkan amin dengan mengeraskan suaranya dan memanjangkannya”[5].
Dan masih banyak hadits hadits lain yang menunjukkan hal ini. Allahu a’lam.
[Letak ucapan “Amin”]
Kapankah diucapkan amin? Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah. Beliau kemudian menjawab,
Adapun bagi Imam maka ketika ia telah selesai membaca (وَلاَ الضَّالِّينَ) demikian juga bagi orang yang sholat sendirian. Sedangkan bagi makmum maka para ulama berselisih pendapat. sebagian ulama mengatakan jika imam telah selesai mengucapkan amin, mereka berdalil dengan dhohir sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ,
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا
“Jika Imam telah selesai mengucapkan amin maka ucapkanlah amin”[6].
Mereka mengatakan hal ini sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
“Jika Imam telah bertakbir maka bertakbirlah”[7].
Adalah merupakan sebuah hal yang sudah diketahui anda tidaklah melakukan takbir jika imam hingga imam selesai bertakbir sehingga makna sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam (إِذَا أَمَّنَ) adalah jika telah selesai mengucapkan amin. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah karena maksudnya telah dijelaskan dalam lafadz yang lain
إِذَا قَالَ الإِمَامُ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ) فَقُولُوا آمِينَ
“Jika Imam telah mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ) maka ucapkanlah amin”[8].
Sehingga makna (إِذَا أَمَّنَ) adalah jika telah sampai waktu dimana ucapan amin akan diucapan yaitu setelah imam mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ). Akan tetapi terkadang sebagian orang melakukan kesalahan dalam mengucapkan amin padahal belumlah sampai lidah imam pada huruf nun (dari وَلاَ الضَّالِّينَ ) maka hal yang demikian jelas menyelisihi sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan termasuk perbuatan mendahului imam[9]. Allahu a’lam pendapat terakhir inilah yang lebih kuat.
[Hukum ucapan “Amin”]
Para ulama’ berselisih pendapat tentang hukum mengucapkan amin. Al Imam Malik rohimahullah berpendapat hukumnya tidaklah disyariatkan bagi imam, hal ini merupakan salah satu riwayat pendapat beliau. Beliau berpendapat demikian karena menafsirkan lafadz hadits
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا
“Jika Imam telah selesai mengucapkan amin maka ucapkanlah amin”[10]
dengan menafsirkan maksud hadits di atas dengan penafsiran jika imam telah sampai pada saat pengucapan amin. Sedangkan Al Imam Asy Syafi’i dan Al Imam Ahmad bin Hambal berpendapat hukumnya sunnah bagi imam makmum dan orang yang sholat sendirian, mereka berdalil dengan dhohir hadits di atas dan selainnya. Sedangkan Dhohiriyah berpendapat wajib mengucapkan amin bagi setiap orang yang sholat, baik imam, makmum ataupun orang yang sholat sendirian[11]. Kemudian Ibnu Hazm mengatakan hukumnya wajib bagi makmum sedangkan imam dan orang yang sholat sendirian maka hukumnya sunnah[12].
Sedangkan Penulis Shohih Fiqh Sunnah berpendapat wajibnya mengucapkan amin bagi setiap orang yang sholat baik sholatnya dengan bacaan dikeraskan atau dipelankan[13]. Allahu A’lam inilah pendapat yang lebih kuat.
[Cara mengucapkan “Amin”]
Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah mengatakan ada 4 cara mengucapkan amin.
[1.] Dengan memanjangkan hamzah dan memendekkan mim (Aamin). Beliau mengatakan inilah cara mengucapkan yang paling fasih.
[2.] Dengan memendekkan hamzah dan mim (amin). Beliau mengatakan dua cara baca ini adalah dua cara baca yang paling terkenal.
[3.] Dengan imalah dan memanjangkan diantaranya (ameen). Al Wahidi meriwayatkan cara baca ini dari Hamzah, demikian juga Al Kisa’i meriwayatkan cara membaca ini.
[4.] Dengan mentasdid mim dan memanjangkannya (Ammiin). Al Wahidi meriwayatkan cara membaca ini dari Al Hasan dan Al Husain bin Fadhl[14].
[Fadhilah mengucapkan “Amin”]
Diantara kemurahan Allah Al Kariim, Allah memberikan fadhilah yang besar dari amalan yang terlihat ringan di lisan ini melalui hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِذَا قَالَ الإِمَامُ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ) فَقُولُوا آمِينَ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika Imam telah mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ) maka ucapkanlah amin. Karena sesungguhnya barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (yang tingkatnya di bawah kesyirikan)”[15].
Demikianlah pembahasan singkat seputar ucapan amin ini, mudah-mudahan kita dapat mengamalkannya sehingga dapat memperoleh faidah yang agung ini. Amin

MELUDAH KETIKA SHOLAT

1. Bagaimana cara hendak membuang air liur yg ada sisa makanan atau benang ketika:
a. solat bersendirian
b. solat berjemaah
2. Bagaimana dengan kahak?
Kesemua permasalahan diatas ini merujuk kepada satu penyelesaian yang sama. Jika seseorang itu hendak membuang sisa makanan didalam solat, hendaklah ia meludahkannya, iaitu sisa-sisa makanan atau air liur, sebagaimana yang dinyatakan didalam hadith :-
وليبصق عن يساره أو تحت قدمه
“Maka dia meludah disebelah kiri atau dibawah tapak kaki….” [Di diriwayatkan oleh Abu Saed al-Khuri].
Didalam sebuah riwayat Ibn Abd al-Barr :
أنه كان يبصق في ثوبه وهو يصلي
“Sesungguhnya dia meludah di pakaiannya sedangkan dia bersolat”
Didalam riwayat yag pertama tadi juga melarang meludah kehadapan, kerana dihadapan adalah kiblat. Kita juga tidak dibenarkan meludah ke kanan oleh kerana Malaikat berada di sebelah kanan.
Riwayat ini menjelaskan bahawa sisa-sisa makanan itu boleh diludahkan disebelah kiri, atau dibawah tapak kaki atau di pakaiannya. Persoalannya, bagaimana pula didalam keadaan masjid yang lantainya marmar dan dipenuhi carpet?
Ibn Rajab sebagaimana yang diriwayatkan didalam Fath al-Baari menyebut bahawa Bakr ibn Muhammad berkata : Aku berkata kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad ibn Hanbal) : Apa pandangan kamu mengenai seorang lelaki yang meludah didalam masjid dan mengosok-gosokkannya dikakinya? Kata beliau : Hadith itu menunjukkan situasi yang berlainan. Kata beliau : Masjd sekarang sudah mempunyai tikar di lantainya dan ia tidak sama seperti dahulu. Jika dia ingin meludah semasa bersolat, maka ludahlah kekiri jika ludahnya jatuh diluar masjid. Jika dia didalam masjid dan tidak boleh meludahkan keluar masjid, maka hendaklah dia meludah di pakaiannya.
Wallahu a`lam

MENANGIS KETIKA SHOLAT

Berikut beberapa pendapat Ulama Madhaahib al-Arba'ah tentang menangis dan segala jenisnya dalam SHOLAT

الْبُكَاءُ فِي الصَّلاَةِ :
12 - يَرَى الْحَنَفِيَّةُ أَنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ إِنْ كَانَ سَبَبُهُ أَلَمًا أَوْ مُصِيبَةً فَإِنَّهُ يُفْسِدُ الصَّلاَةَ ؛ لأَِنَّهُ يُعْتَبَرُ م...ِنْ كَلاَمِ النَّاسِ ، وَإِنْ كَانَ سَبَبُهُ ذِكْرَ الْجَنَّةِ أَوِ النَّارِ فَإِنَّهُ لاَ يُفْسِدُهَا ؛ لأَِنَّهُ يَدُل عَلَى زِيَادَةِ الْخُشُوعِ ، وَهُوَ الْمَقْصُودُ فِي الصَّلاَةِ ، فَكَانَ فِي مَعْنَى التَّسْبِيحِ أَوِ الدُّعَاءِ . وَيَدُل عَلَى هَذَا حَدِيثُ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْل وَلَهُ
أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَل مِنَ الْبُكَاءِ . (1)
وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّ هَذَا التَّفْصِيل فِيمَا إِذَا كَانَ عَلَى أَكْثَرِ مِنْ حَرْفَيْنِ ، أَوْ عَلَى حَرْفَيْنِ أَصْلِيَّيْنِ ، أَمَّا إِذَا كَانَ عَلَى حَرْفَيْنِ مِنْ حُرُوفِ الزِّيَادَةِ ، أَوْ أَحَدُهَا مِنْ حُرُوفِ الزِّيَادَةِ وَالآْخَرُ أَصْلِيٌّ ، لاَ تَفْسُدُ فِي الْوَجْهَيْنِ مَعًا ، وَحُرُوفُ الزِّيَادَةِ عَشَرَةٌ يَجْمَعُهَا قَوْلُكَ : أَمَانٌ وَتَسْهِيلٌ (2) .
وَحَاصِل مَذْهَبِ الْمَالِكِيَّةِ فِي هَذَا : أَنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِصَوْتٍ ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ بِلاَ صَوْتٍ ، فَإِنْ كَانَ الْبُكَاءُ بِلاَ صَوْتٍ فَإِنَّهُ لاَ يُبْطِل الصَّلاَةَ ، سَوَاءٌ أَكَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ ، بِأَنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ تَخَشُّعًا أَوْ لِمُصِيبَةٍ ، أَمْ كَانَ اخْتِيَارِيًّا مَا لَمْ يَكْثُرْ ذَلِكَ فِي الاِخْتِيَارِيِّ .
وَأَمَّا إِذَا كَانَ الْبُكَاءُ بِصَوْتٍ ، فَإِنْ كَانَ اخْتِيَارِيًّا فَإِنَّهُ يُبْطِل الصَّلاَةَ ، سَوَاءٌ كَانَ لِمُصِيبَةٍ أَمْ لِتَخَشُّعٍ ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ ، بِأَنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ تَخَشُّعًا لَمْ يُبْطِل ، وَإِنْ كَثُرَ ، وَإِنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ بِغَيْرِ تَخَشُّعٍ أَبْطَل (3) .
__________
(1) حديث : " كان يصلي بالليل وله أزيز . . . " أخرجه أبو داود ( 1 / 557 ـ ط عزت عبيد دعاس ) والنسائي ( 3 / 13 ـ ط المكتبة التجارية ) .
(2) تبيين الحقائق 1 / 155 ، 156 ط دائرة المعرفة ، وفتح القدير 1 / 281 ، 282 ـ ط دار صادر .
(3) حاشية الشيخ علي العدوي على مختصر خليل ، وهي بهامش الخرشي 1 / 325 ، ط دار صادر ، وجواهر الإكليل 1 / 63 ، ومواهب الجليل 2 / 33 .
هَذَا وَقَدْ ذَكَرَ الدُّسُوقِيُّ أَنَّ الْبُكَاءَ بِصَوْتٍ ، إِنْ كَانَ لِمُصِيبَةٍ أَوْ لِوَجَعٍ مِنْ غَيْرِ غَلَبَةٍ أَوْ لِخُشُوعٍ فَهُوَ حِينَئِذٍ كَالْكَلاَمِ ، يُفَرَّقُ بَيْنَ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ ، أَيْ فَالْعَمْدُ مُبْطِلٌ مُطْلَقًا ، قَل أَوْ كَثُرَ ، وَالسَّهْوُ يُبْطِل إِنْ كَانَ كَثِيرًا ، وَيُسْجَدُ لَهُ إِنْ قَل (1) .
وَأَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ، فَإِنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ عَلَى الْوَجْهِ الأَْصَحِّ إِنْ ظَهَرَ بِهِ حَرْفَانِ فَإِنَّهُ يُبْطِل الصَّلاَةَ ؛ لِوُجُودِ مَا يُنَافِيهَا ، حَتَّى وَإِنْ كَانَ الْبُكَاءُ مِنْ خَوْفِ الآْخِرَةِ . وَعَلَى مُقَابِل الأَْصَحِّ :
لاَ يُبْطِل لأَِنَّهُ لاَ يُسَمَّى كَلاَمًا فِي اللُّغَةِ ، وَلاَ يُفْهَمُ مِنْهُ شَيْءٌ ، فَكَانَ أَشْبَهَ بِالصَّوْتِ الْمُجَرَّدِ (2) .
وَأَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَإِنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّهُ إِنْ بَانَ حَرْفَانِ مِنْ بُكَاءٍ ، أَوْ تَأَوُّهِ خَشْيَةٍ ، أَوْ أَنِينٍ فِي الصَّلاَةِ لَمْ تَبْطُل ؛ لأَِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الذِّكْرِ ، وَقِيل : إِنْ غَلَبَهُ وَإِلاَّ بَطَلَتْ ، كَمَا لَوْ لَمْ يَكُنْ خَشْيَةً ؛ لأَِنَّهُ يَقَعُ عَلَى الْهِجَاءِ ، وَيَدُل بِنَفْسِهِ عَلَى الْمَعْنَى كَالْكَلاَمِ ، قَال أَحْمَدُ فِي الأَْنِينِ : إِذَا كَانَ غَالِبًا أَكْرَهُهُ ، أَيْ مِنْ وَجَعٍ ، وَإِنِ اسْتَدْعَى الْبُكَاءَ فِيهَا كُرِهَ كَالضَّحِكِ وَإِلاَّ فَلاَ . (3)
__________
(1) حاشية الدسوقي على الشرح الكبير 1 / 284 ـ ط دار الفكر .
(2) نهاية المحتاج 2 / 34 ، وحاشية قليوبي وعميرة1 / 187 ، ومغني المحتاج 1 / 195 .
(3) الفروع 1 / 370 ، 371 .

MENANGIS SAAT SHOLAT

KALANGAN HANAFIYYAH BERPENDAPAT :
Bila sebab tangisannya kepedihan dan musibah batal sholatnya karena tangisan dianggap pembicaraan manusia, bila sebabnya ingat surga dan neraka tidak membatalkan sholat karena berarti menunjukkan tambahnya khusyu’ yang menjadi tujuan dalam sholat, tangisan seperti ini menduduki makna tasbih dan doa.

Menurut Abu Yusuf perincian di atas bila suara isak tersebut lebih dari dua huruf atau berupa dua huruf yang asal, sedang bila terdiri dari dua huruf tambahan atau salah satunya huruf asal dan lainnya huruf tambahan maka tidak membatalkan sholat baik tangisannya karena kepedihan atau mengingat akhirat.
Yang dimaksud huruf tambahan adalah huruf-huruf yang terkumpul dalam lafadz “AMAANUN WA TASHIILUN” (Tabyiin alhaqaaiq I/155, Fath alQadiir I/281-282)

KESIMPULAN DIKALANGAN MALIKIYYAH :
Tangisan dalam sholat adakalanya berupa suara adakalanya tidak,
Tangisan tanpa suara tidak membatalkan sholat, baik tangisan yang tidak mampu ia kendalikanseperti dirinya dikuasai oleh kekhusyuan atau musibah atau tangisan yang mampu ia kendalikanselagi tidak banyak.
Tangisan yang bersuara bila mampu ia kendalikan membatalkan sholat baik karena khusyu atau musibah sedang yang tidak mampu ia kendalikan bila karena rasa khusyu’ meskipun banyak tidak membatalkan, bila bukan karena rasa khusyu’ membatalkan. (Hasyiyah as-Syaikh ‘alii al-‘Adawy ala Mukhtashor Kholil I/325, Jawaahir al-ikliil I/63, Mawaahib aljalil II/33

Sedang menurut adDasuuQy tangisan dengan suara karena musibah/kepedihan atau karena kekhusyuan bila tanpa ia kendalikan hukumnya seperti halnya berbicara saat sholat dalam arti dibedakan hukumnya antara kesengajaan dan tidaknya, bila sengaja membatalkan sedikit ataupun banyak, sedang bila lalai/tanpa sengaja juga membatalkan bila tangisannya banyak dan disunahkansujud bila sedikit (Hasyiyah adDasuuqy alaa Syarh alkabiir I/284)

KALANGAN SYAFI'IYYAH BERPENDAPAT :
Tangisan dalam sholat menurut pendapat yang shahih bila sampai keluar dua huruf dalam tangisannya membatalkan sholat karena adanya hal yang menafikan sholat walau tangisan takut akan akhirat sekalipun, sedang menurut Muqaabil pendapat yang shahih tidak membatalkan karena tangisan tidak tergolong pembicaraan serta tidak dapat difahami, tangisan hanyalah serupa dengan suara murni (Nihayah almuhtaaaj II/34, Hasyiyah Qolyubi I/187, Mughni alMuhtaaj I/195)

KALANGAN HANABILAH BERPENDAPAT :
Mereka berpendapat bila tampak dua huruf dari tangisan, aduhan ketakutan atau rintihan dalam sholat tidak membatalkan karena dihukumi sebagaimana dzikiran.
Ada pendapat “hal itu bila menguasainya/tidak terkendali, bila mampu dikendalikan membatalkan seperti bila tangisannya tidak karena ketakutan (akhirat) karena berarti ia mengejek dalam sholatnya dan artinya dirinya mengerjakan pembicaraan.
Imam ahmad berkata dalam masalah rintihan “Bila menguasainya/tidak terkendali, aku membencinya, sedang bila dapat terkendali aku tidak membencinya (alFuruu’ I/370-371)

alMausuu’ah alFiqhiyyah VIII/181

Wallaahu A'lamu bis showaab

Menelan Sisa Makanan di Mulut Ketika Shalat

Menelan sisa makanan ketika shalat
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du:
Terkait sisa makanan yang berada di sela-sela gigi, ada dua hal yang bisa dijadikan acuan:
Pertama, masih melekat di gigi atau tidak sampai tertelan
Para ulama menegaskan bahwa ini bukan termasuk pembatal shalat, tidak pula pembatal puasa. Karena sisa makanan yang mengendap di mulut, bukan terhitung kegiatan makan.
Dalam Fatawa Nur Ala Ad-Darb, Imam Ibnu Baz menyatakan:
ما يوجد في الفم من آثار الطعام أو اللحم لا يضر الصلاة،
 سواء بقي أو أخرج أثناء الصلاة وطرحه في منديل أو في جيبه
“Sisa makanan atau sisa daging yang berada di mulut, tidak membatalkan shalat seseorang. Baik tetap melekat di mulut atau dia keluarkan di tengah-tengah shalat, kemudian dia letakkan di sapu tangan atau di sakunya.”
Sumber: http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=1869
Kedua, bagaimana jika sampai tertelan?
Sebagian ulama menegaskan, sisa makanan itu jangan sampai tertelan. Imam Ibnu Baz melanjutkan:
المقصود ما في الفم من آثار الطعام، أو آثار اللحم
في الأسنان لا يضر الإنسان، لكن لا يبتلعه، إذا أخرجه
 يلقيه في جيبه أو في منديل، وإن أبقاه في ضرسه أو في
 جيبه حتى يفرغ من الصلاة لم يضرها
Maksudnya, sisa makanan di mulut atau sisa daging di sela-sela gigi, tidak (membatalkan shalat) seseorang, akan tetapi jangan ditelan. Jika dia keluarkan, letakkan di saku atau sapu tangan. Jika tetap melekat di sela-sela gigi atau dia letakkan di sakunya, sampai shalat selesai, shalatnya tidak batal.
Sumber: http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=1869
Sementara itu, ulama lainnya menegaskan bahwa sisa makanan yang tertelan ini tidak membatalkan shalat. Karena tidak terhitung makan atau minum. Sebagaimana orang menelan ludah. Ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh Sulaiman al-Majid, sebagaimana penjelasan beliau dalam sebuah acara televisi.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syaikh Usamah al-Qusi, salah satu dai ahlus sunnah di Mesir.

Wallahu a`lam

Senin, 14 Oktober 2013

HUKUM MEMASUKAN JARI KE VAGINA ISTRI

Memasukkan Jari ke Vagina Istri

Bismillah. Suami-istri diperbolehkan untuk menikmati anggota badan masing-masing, agar bisa membangkitkan syahwat, selama menjauhi dubur dan kemaluan ketika haid atau nifas. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi seorang suami untuk memasukkan jarinya ke kemaluan istri. Terlebih jika ini dalam rangka memuaskan pasangan
Hanya saja, perlu dipahami bahwa para ulama mengingatkan, perbuatan semacam ini tidak sejalan dengan akhlak yang mulia dan tabiat yang baik.
Allah telah memberikan syariat terbaik dalam masalah ini, dengan dihalalkannyajima’ (hubungan intim). Sebagai hamba-Nya yang baik, selayaknya kita mencukupkan diri dengan hal-hal yang Allah halalkan.
Catatan: Jika yang disentuh adalah bagian luar kemaluan istri dan tidak sampai memasukkan jari, seperti memegang klitoris, atau kegiatan semacamnya, maka para ulama menegaskan bahwa hal itu diperbolehkan.
Allahu a’lam.

Rasulullah Memanjangkan Rambut, Benarkah???

Bismillahirrohmanirrohiim

Pertanyaan:
Saya dengar dalam kajian bahwa rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsampai menyentuh bahunya. Apakah ini benar? Kalau benar, apakah ini termasuk sunnah?
Jawaban:
Memang benar, rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam panjangnya sampai menyentuh bahunya, sebagaimana dalam banyak hadits, seperti:
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ يَقُوْلُ مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِيْ لِمَّةٍ أَحْسَنَ
 مِنْهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ
Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah.” Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (Hr. Muslim: 2337)
Adapun berkaitan dengan hukum memanjangkannya, maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu hukumnya sunnah.
Mereka berdalil bahwa hukum asal perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah ibadah, sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو
 اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Qs. Al-Ahzab: 21)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bagus dan dihukumi sebagai ibadah, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, beliau mengatakan (dalam al-Mughni: 1/119), “Hal ini (memanjangkan rambut bagi laki-laki) hukumnya sunnah. Seandainya kami mampu melakukannya, maka akan kami lakukan, tetapi ada faktor kesibukan dan biaya yang diperlukan.”
Pendapat ini dikuatkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memanjangkan rambutnya, padahal perbuatan ini perlu waktu (sibuk mengurusnya) dan perlu biaya (untuk minyak rambut dan semisalnya). Andaikan ini bukan sunnah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan susah payah melakukannya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa memanjangkan rambut hukumnya bukan sunnah, tetapi hanya sekadar adat kebiasaan, dan hukumnya mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak).
Pendapat ini didasari oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang mencukur sebagian rambut anaknya dan menyisakan sebagian lainnya, beliau mengatakan, “Cukurlah semua atau jangan dicukur semua!”
Andaikan memanjangkan rambut hukumnya sunnah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk mencukur, tetapi akan memerintahkan supaya dipanjangkan karena itu sunnah.
Adapun yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memanjangkan rambutnya karena adat-kebiasaan manusia saat itu memang demikian. Beliau tidak menyelisihi kaumnya, karena apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka dalam suatu perkara, berarti perkara itu adalah perkara yang disayariatkan (sunnah).
Akan tetapi, pada kenyataannya justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamai mereka. Ini menunjukkan bahwa perkara itu mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan), namun bukan termasuk sunnah.
Pendapat inilah yang lebih kuat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin dalamMandzumah Ushul Fikih wa Qawa’iduhu, hlm. 118–119.

Wallahu a`lam