Rabu, 06 November 2013

MANFAAT & KEUTAMAAN SERTA RAHASIA SHOLAT DHUHA



www.pplindo.com/?id=adf78

Bismillahirrohmanirrohiim


6 Keutamaan Sholat Dhuha

6 Keutamaan Sholat Dhuha
Sebelum kita membaca Artikel tentang 6 Keutamaan Sholat Dhuha mari kita membaca Bismillahirrahmanirrahim ...

Hadits Rasulullah Muhammad saw yang menceritakan tentang keutamaan shalat Dhuha, di antaranya:


1. Sedekah bagi seluruh persendian tubuh manusia

Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, ia berkata bahwa Nabi Muahammad saw bersabda:

“Di setiap sendiri seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua rakaat Dhuha diberi pahala” (HR Muslim).

2. Ghanimah (keuntungan) yang besar

Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash radhiyallahu `anhuma, ia berkata:

Rasulullah saw mengirim sebuah pasukan perang.
Nabi saw berkata: “Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!”.

Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya).

Lalu Rasulullah saw berkata; “Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya?”

Mereka menjawab; “Ya!

Rasul saw berkata lagi:
“Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.” (Shahih al-Targhib: 666)

3. Sebuah rumah di surga

Bagi yang rajin mengerjakan shalat Dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam surga. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Muahammad saw:

“Barangsiapa yang shalat Dhuha sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di surga.” (Shahih al-Jami`: 634)

4. Memperoleh ganjaran di sore hari

Dari Abu Darda’ ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata:

Allah ta`ala berkata: “Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (Shahih al-Jami: 4339).

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan: “Innallaa `azza wa jalla yaqulu: Yabna adama akfnini awwala al-nahar bi’arba`i raka`at ukfika bihinna akhira yaumika”

(Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla berkata: “Wahai anak Adam, cukuplah bagi-Ku empat rakaat di awal hari, maka aku akan mencukupimu di sore harimu”).

5. Pahala Umrah

Dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barang siapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah…” (Shahih al-Targhib: 673).

Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda:

“Barang siapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna..” (Shahih al-Jami`: 6346).

6. Ampunan Dosa

“Siapa pun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (HR Tirmidzi)


Sekian Artikel tentang 6 Keutamaan Sholat Dhuha , semoga bermanfaat bagi kita semua , Amin 


MASIH DI LANJUT DI BAWAHNYA INI,,

KEUTAMAAN ,MANFAAT DAN RAHASIANYA,


Dari Abu Dzar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Pada pagi hari setiap tulang (persendian) dari kalian akan dihitung sebagai sedekah. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang dari berbuat munkar (nahi munkar) adalah sedekah. Semua itu cukup dengan dua rakaat yang dilaksanakan di waktu Dhuha.”
[HR. Muslim, Abu Dawud dan riwayat Bukhari dari Abu Hurairah]

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Kekasihku Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berwasiat kepadaku tiga perkara: [1] puasa tiga hari setiap bulan, [2] dua rakaat shalat Dhuha dan [3] melaksanakan shalat witir sebelum tidur.”
[HR. Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad dan Ad-Darami]

Dari Abud Darda, ia berkata: “Kekasihku telah berwasiat kepadaku tiga hal. Hendaklah saya tidak pernah meninggalkan ketiga hal itu selama saya masih hidup: [1] menunaikan puasa selama tiga hari pada setiap bulan, [2] mengerjakan shalat Dhuha, dan [3] tidak tidur sebelum menunaikan shalat Witir.”
[HR. Muslim, Abu Dawud, Turmuzi dan Nasa’i]

Dari Anas [bin Malik], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 (dua belas) rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di syurga”.
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]

Dari Abu Said [Al-Khudry], ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhuha, sehingga kami mengira bahwa beliau tidak pernah meninggalkannya. Dan jika beliau meninggalkannya, kami mengira seakan-akan beliau tidak pernah mengerjakannya”.
[HR. Turmuzi, hadis hasan]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat Dhuha itu dapat mendatangkan rejeki dan menolak kefakiran. 
Dan tidak ada yang akan memelihara shalat Dhuha melainkan orang-orang yang bertaubat.”
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]

Anjuran Shalat Dhuha

Dari Aisyah, ia berkata: “Saya tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat Dhuha, sedangkan saya sendiri mengerjakannya. Sesungguhnya Rasulullah SAW pasti akan meninggalkan sebuah perbuatan meskipun beliau menyukai untuk mengerjakannya. Beliau berbuat seperti itu karena khawatir jikalau orang-orang ikut mengerjakan amalan itu sehingga mereka menganggapnya sebagai ibadah yang hukumnya wajib (fardhu).”
[HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Malik dan Ad-Darami] ditulis di blog fadlie.web.id
Dalam Syarah An-Nawawi disebutkan:
Aisyah berkata seperti itu karena dia tidak setiap saat bersama Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah memiliki istri sebanyak 9 (sembilan) orang. Jadi Aisyah harus menunggu selama 8 hari sebelum gilirannya tiba. Dalam masa 8 hari itu, tidak selamanya Aisyah mengetahui apa-apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah istri beliau yang lain.


Waktu Afdol untuk Shalat Dhuha

Dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang mengerjakan shalat Dhuha [pada waktu yang belum begitu siang], maka ia berkata: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat Dhuha pada selain saat-saat seperti itu adalah lebih utama, karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalatnya orang-orang yang kembali kepada ALLAH adalah pada waktu anak-anak onta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari”.
[HR. Muslim]
Penjelasan:
Anak-anak onta sudah bangun karena panas matahari itu diqiyaskan dengan pagi hari jam 08:00 AM, adapun sebelum jam itu dianggap belum ada matahari yang sinarnya dapat membangunkan anak onta.
Jadi dari rincian penjelasan diatas dapat disimpulkan waktu yg paling afdol untuk melaksanakan dhuha adalah Antara jam 08:00 AM ~ 11:00 PM


Jumlah Rakaat Shalat Dhuha
>> 4 RAKAAT
Dari Mu’dzah, bahwa ia bertanya kepada Aisyah: “Berapa jumlah rakaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menunaikan shalat Dhuha?”
Aisyah menjawab: “Empat rakaat dan beliau menambah bilangan rakaatnya sebanyak yang beliau suka.”
[HR. Muslim dan Ibnu Majah]


>> 12 RAKAAT
Dari Anas [bin Malik], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 (dua belas) rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di syurga”.
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]

>> 8 RAKAAT
Dari Ummu Hani binti Abu Thalib, ia berkata: “Saya berjunjung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Fathu (Penaklukan) Makkah. Saya menemukan beliau sedang mandi dengan ditutupi sehelai busana oleh Fathimah putri beliau”.
Ummu Hani berkata: “Maka kemudian aku mengucapkan salam”. Rasulullah pun bersabda: “Siapakah itu?” Saya menjawab: “Ummu Hani binti Abu Thalib”. Rasulullah SAW bersabda: “Selamat datang wahai Ummu Hani”.
Sesudah mandi beliau menunaikan shalat sebanyak 8 (delapan) rakaat dengan berselimut satu potong baju. Sesudah shalat saya (Ummu Hani) berkata: “Wahai Rasulullah, putra ibu Ali bin Abi Thalib menyangka bahwa dia boleh membunuh seorang laki-laki yang telah aku lindungi, yakni fulan Ibnu Hubairah”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “sesungguhnya kami juga melindungi orang yang kamu lindungi, wahai Ummu Hani”.
Ummu Hani juga berkata: “Hal itu (Rasulullah shalat) terjadi pada waktu Dhuha.”
[HR. Muslim]


Tata Cara Shalat Dhuha
Berniat untuk melaksanakan shalat sunat Dhuha setiap 2 rakaat 1 salam. Seperti biasa bahwa niat itu tidak harus dilafazkan, karena niat sudah dianggap cukup meski hanya di dalam hati.
Membaca surah Al-Fatihah
Membaca surah Asy-Syamsu (QS:91) pada rakaat pertama, atau cukup dengan membaca Qulya (QS:109) jika tidak hafal surah Asy-Syamsu itu.
Membaca surah Adh-Dhuha (QS:93) pada rakaat kedua, atau cukup dengan membaca Qulhu (QS:112) jika tidak hafal surah Adh-Dhuha.
Rukuk, iktidal, sujud, duduk dua sujud, tasyahud dan salam adalah sama sebagaimana tata cara pelaksanaan shalat fardhu.
Menutup shalat Dhuha dengan berdoa. Inipun bukan sesuatu yang wajib, hanya saja berdoa adalah kebiasaan yang sangat baik dan dianjurkan sebagai tanda penghambaan kita kepada ALLAH.
catatan :
>> Sebagaimana shalat sunat lainnya, Dhuha dikerjakan dengan 2 rakaat 2 rakaat, artinya pada setiap 2 rakaat harus diakhiri dengan 1 kali salam.
>> Adapun surah-surah yang dibaca itu tidak ada hadis yang mengaturnya melainkan sekedar ijtihad belaka, kecuali membaca Qulya dan Qulhu adalah sunnah Rasulullah, tetapi bukan untuk shalat Dhuha, melainkan shalat Fajr. Kita tidak dibatasi membaca surah yang manapun yang kita sukai, karena semua Al-Qur’an adalah kebaikan.
>> Doa pun tidak dibatasi, kita boleh berdoa apa saja asalkan bukan doa untuk keburukan.
>> Doa yang terkenal dalam mazhab Syafi’i ada pada slide selanjutnya. Selain doa itu kita boleh membaca doa yang kita sukai. Namun karena ada aturan mazhab, maka hendaklah kita jangan melupakan agar memulai doa itu dengan menyebut nama ALLAH, memuji syukur kepada-NYA dan kemudian bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Do’a Sesudah Shalat Dhuha

ALLAAHUMMA INNADH-DHUHAA ‘ADHUHAA ‘UKA – WAL BAHAA ‘ABAHAA ‘UKA – WAL JAMAALA JAMAALUKA – WAL QUWWATA QUWWATUKA – WAL QUDRATA QUDRATUKA – WAL ‘ISHMATA ‘ISHMATUKA.
ALLAAHUMMA IN KAANA RIZQII FIS-SAMAA ‘I FA ANZILHU – WA IN KAANA FIL ARDI FA AKHRIJHU – WA IN KAANA MU’ASSARAN FA YASSIRHU – WA IN KAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU – WA IN KAANA BA’IIDAN FA QARRIBHU, BIHAQQI DHUHAA ‘IKA, WA BAHAA ‘IKA, WA JAMAALIKA, WA QUWWATIKA, WA QUDRATIKA.
AATINII MAA ‘ATAITA ‘IBAADAKASH-SHAALIHIIN.
Artinya:
“Wahai ALLAH, bahwasanya waktu Dhuha itu waktu Dhuha-MU – dan kecantikan adalah kecantikan-MU – dan keindahan adalah keindahan-MU – dan kekuatan adalah kekuatan-MU – dan kekuasaan adalah kekuasaan-MU – dan perlindungan itu adalah perlindungan-MU.
Wahai ALLAH, jikalau rejekiku masih diatas langit, maka turunkanlah – Dan jikalau ada didalam bumi maka keluarkanlah – dan jikalau sukar maka mudahkanlah – dan jika haram maka sucikanlah – dan jikalau masih jauh maka dekatkanlah dengan berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-MU.

Limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambamu yang shaleh.

Wallahu a`lam

Sabtu, 19 Oktober 2013

MENGUCAPKAN AAMIIN KETIKA SHOLAT

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Seputar Mengucapkan Amin dalam Sholat
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Sholat merupakan rukun islam yang kedua, sebagaimana terdapat dalam hadits Jibril ‘alaihissalam,
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Wahai Muhammad beritahukanlah aku apa itu Islam?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Islam adalah engkau bersyahadat bahwasanya tiada sesembahan yang benar disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mengerjakan sholat, engkau menunaikan zakat (wajib bagimu[1]), engkau berpuasa pada Bulan Romadhon, engkau melaksanakan haji ke Mekkah jika engkau mampu[2]”.
Bahkan Sholat merupakan pembeda orang kafir dan orang muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya (pemisah) bagi seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat”[3].
Sehingga sedemikian pentingnya sholat dalam islam. Jika kita membaca kitab-kitab hadits maka akan sangat banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan sholat dan kedudukannya dalam islam.
Namun yang menjadi topik tulisan ringkas ini adalah masalah seputar mengucapkan Amin dalam sholat.
[Dalil disyariatkannya mengucapkan “Amin”]
Dalil disyariatkannya mengucapan amin adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِذَا قَالَ الإِمَامُ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ) فَقُولُوا آمِينَ
“Jika Imam telah mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ) maka ucapkanlah amin”[4].
Demikian juga dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا انْتَهَى مِنْ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ قَالَ : ( آمِيْن ) يَجْهَرُ وَيَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ
“Adalah merupakan kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam jika telah selesai membaca surat al fatihah beliau mengucapkan amin dengan mengeraskan suaranya dan memanjangkannya”[5].
Dan masih banyak hadits hadits lain yang menunjukkan hal ini. Allahu a’lam.
[Letak ucapan “Amin”]
Kapankah diucapkan amin? Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah. Beliau kemudian menjawab,
Adapun bagi Imam maka ketika ia telah selesai membaca (وَلاَ الضَّالِّينَ) demikian juga bagi orang yang sholat sendirian. Sedangkan bagi makmum maka para ulama berselisih pendapat. sebagian ulama mengatakan jika imam telah selesai mengucapkan amin, mereka berdalil dengan dhohir sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ,
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا
“Jika Imam telah selesai mengucapkan amin maka ucapkanlah amin”[6].
Mereka mengatakan hal ini sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
“Jika Imam telah bertakbir maka bertakbirlah”[7].
Adalah merupakan sebuah hal yang sudah diketahui anda tidaklah melakukan takbir jika imam hingga imam selesai bertakbir sehingga makna sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam (إِذَا أَمَّنَ) adalah jika telah selesai mengucapkan amin. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah karena maksudnya telah dijelaskan dalam lafadz yang lain
إِذَا قَالَ الإِمَامُ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ) فَقُولُوا آمِينَ
“Jika Imam telah mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ) maka ucapkanlah amin”[8].
Sehingga makna (إِذَا أَمَّنَ) adalah jika telah sampai waktu dimana ucapan amin akan diucapan yaitu setelah imam mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ). Akan tetapi terkadang sebagian orang melakukan kesalahan dalam mengucapkan amin padahal belumlah sampai lidah imam pada huruf nun (dari وَلاَ الضَّالِّينَ ) maka hal yang demikian jelas menyelisihi sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan termasuk perbuatan mendahului imam[9]. Allahu a’lam pendapat terakhir inilah yang lebih kuat.
[Hukum ucapan “Amin”]
Para ulama’ berselisih pendapat tentang hukum mengucapkan amin. Al Imam Malik rohimahullah berpendapat hukumnya tidaklah disyariatkan bagi imam, hal ini merupakan salah satu riwayat pendapat beliau. Beliau berpendapat demikian karena menafsirkan lafadz hadits
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا
“Jika Imam telah selesai mengucapkan amin maka ucapkanlah amin”[10]
dengan menafsirkan maksud hadits di atas dengan penafsiran jika imam telah sampai pada saat pengucapan amin. Sedangkan Al Imam Asy Syafi’i dan Al Imam Ahmad bin Hambal berpendapat hukumnya sunnah bagi imam makmum dan orang yang sholat sendirian, mereka berdalil dengan dhohir hadits di atas dan selainnya. Sedangkan Dhohiriyah berpendapat wajib mengucapkan amin bagi setiap orang yang sholat, baik imam, makmum ataupun orang yang sholat sendirian[11]. Kemudian Ibnu Hazm mengatakan hukumnya wajib bagi makmum sedangkan imam dan orang yang sholat sendirian maka hukumnya sunnah[12].
Sedangkan Penulis Shohih Fiqh Sunnah berpendapat wajibnya mengucapkan amin bagi setiap orang yang sholat baik sholatnya dengan bacaan dikeraskan atau dipelankan[13]. Allahu A’lam inilah pendapat yang lebih kuat.
[Cara mengucapkan “Amin”]
Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah mengatakan ada 4 cara mengucapkan amin.
[1.] Dengan memanjangkan hamzah dan memendekkan mim (Aamin). Beliau mengatakan inilah cara mengucapkan yang paling fasih.
[2.] Dengan memendekkan hamzah dan mim (amin). Beliau mengatakan dua cara baca ini adalah dua cara baca yang paling terkenal.
[3.] Dengan imalah dan memanjangkan diantaranya (ameen). Al Wahidi meriwayatkan cara baca ini dari Hamzah, demikian juga Al Kisa’i meriwayatkan cara membaca ini.
[4.] Dengan mentasdid mim dan memanjangkannya (Ammiin). Al Wahidi meriwayatkan cara membaca ini dari Al Hasan dan Al Husain bin Fadhl[14].
[Fadhilah mengucapkan “Amin”]
Diantara kemurahan Allah Al Kariim, Allah memberikan fadhilah yang besar dari amalan yang terlihat ringan di lisan ini melalui hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
إِذَا قَالَ الإِمَامُ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ) فَقُولُوا آمِينَ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika Imam telah mengucapkan (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ) maka ucapkanlah amin. Karena sesungguhnya barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (yang tingkatnya di bawah kesyirikan)”[15].
Demikianlah pembahasan singkat seputar ucapan amin ini, mudah-mudahan kita dapat mengamalkannya sehingga dapat memperoleh faidah yang agung ini. Amin

MELUDAH KETIKA SHOLAT

1. Bagaimana cara hendak membuang air liur yg ada sisa makanan atau benang ketika:
a. solat bersendirian
b. solat berjemaah
2. Bagaimana dengan kahak?
Kesemua permasalahan diatas ini merujuk kepada satu penyelesaian yang sama. Jika seseorang itu hendak membuang sisa makanan didalam solat, hendaklah ia meludahkannya, iaitu sisa-sisa makanan atau air liur, sebagaimana yang dinyatakan didalam hadith :-
وليبصق عن يساره أو تحت قدمه
“Maka dia meludah disebelah kiri atau dibawah tapak kaki….” [Di diriwayatkan oleh Abu Saed al-Khuri].
Didalam sebuah riwayat Ibn Abd al-Barr :
أنه كان يبصق في ثوبه وهو يصلي
“Sesungguhnya dia meludah di pakaiannya sedangkan dia bersolat”
Didalam riwayat yag pertama tadi juga melarang meludah kehadapan, kerana dihadapan adalah kiblat. Kita juga tidak dibenarkan meludah ke kanan oleh kerana Malaikat berada di sebelah kanan.
Riwayat ini menjelaskan bahawa sisa-sisa makanan itu boleh diludahkan disebelah kiri, atau dibawah tapak kaki atau di pakaiannya. Persoalannya, bagaimana pula didalam keadaan masjid yang lantainya marmar dan dipenuhi carpet?
Ibn Rajab sebagaimana yang diriwayatkan didalam Fath al-Baari menyebut bahawa Bakr ibn Muhammad berkata : Aku berkata kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad ibn Hanbal) : Apa pandangan kamu mengenai seorang lelaki yang meludah didalam masjid dan mengosok-gosokkannya dikakinya? Kata beliau : Hadith itu menunjukkan situasi yang berlainan. Kata beliau : Masjd sekarang sudah mempunyai tikar di lantainya dan ia tidak sama seperti dahulu. Jika dia ingin meludah semasa bersolat, maka ludahlah kekiri jika ludahnya jatuh diluar masjid. Jika dia didalam masjid dan tidak boleh meludahkan keluar masjid, maka hendaklah dia meludah di pakaiannya.
Wallahu a`lam

MENANGIS KETIKA SHOLAT

Berikut beberapa pendapat Ulama Madhaahib al-Arba'ah tentang menangis dan segala jenisnya dalam SHOLAT

الْبُكَاءُ فِي الصَّلاَةِ :
12 - يَرَى الْحَنَفِيَّةُ أَنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ إِنْ كَانَ سَبَبُهُ أَلَمًا أَوْ مُصِيبَةً فَإِنَّهُ يُفْسِدُ الصَّلاَةَ ؛ لأَِنَّهُ يُعْتَبَرُ م...ِنْ كَلاَمِ النَّاسِ ، وَإِنْ كَانَ سَبَبُهُ ذِكْرَ الْجَنَّةِ أَوِ النَّارِ فَإِنَّهُ لاَ يُفْسِدُهَا ؛ لأَِنَّهُ يَدُل عَلَى زِيَادَةِ الْخُشُوعِ ، وَهُوَ الْمَقْصُودُ فِي الصَّلاَةِ ، فَكَانَ فِي مَعْنَى التَّسْبِيحِ أَوِ الدُّعَاءِ . وَيَدُل عَلَى هَذَا حَدِيثُ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْل وَلَهُ
أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَل مِنَ الْبُكَاءِ . (1)
وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّ هَذَا التَّفْصِيل فِيمَا إِذَا كَانَ عَلَى أَكْثَرِ مِنْ حَرْفَيْنِ ، أَوْ عَلَى حَرْفَيْنِ أَصْلِيَّيْنِ ، أَمَّا إِذَا كَانَ عَلَى حَرْفَيْنِ مِنْ حُرُوفِ الزِّيَادَةِ ، أَوْ أَحَدُهَا مِنْ حُرُوفِ الزِّيَادَةِ وَالآْخَرُ أَصْلِيٌّ ، لاَ تَفْسُدُ فِي الْوَجْهَيْنِ مَعًا ، وَحُرُوفُ الزِّيَادَةِ عَشَرَةٌ يَجْمَعُهَا قَوْلُكَ : أَمَانٌ وَتَسْهِيلٌ (2) .
وَحَاصِل مَذْهَبِ الْمَالِكِيَّةِ فِي هَذَا : أَنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِصَوْتٍ ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ بِلاَ صَوْتٍ ، فَإِنْ كَانَ الْبُكَاءُ بِلاَ صَوْتٍ فَإِنَّهُ لاَ يُبْطِل الصَّلاَةَ ، سَوَاءٌ أَكَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ ، بِأَنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ تَخَشُّعًا أَوْ لِمُصِيبَةٍ ، أَمْ كَانَ اخْتِيَارِيًّا مَا لَمْ يَكْثُرْ ذَلِكَ فِي الاِخْتِيَارِيِّ .
وَأَمَّا إِذَا كَانَ الْبُكَاءُ بِصَوْتٍ ، فَإِنْ كَانَ اخْتِيَارِيًّا فَإِنَّهُ يُبْطِل الصَّلاَةَ ، سَوَاءٌ كَانَ لِمُصِيبَةٍ أَمْ لِتَخَشُّعٍ ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ ، بِأَنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ تَخَشُّعًا لَمْ يُبْطِل ، وَإِنْ كَثُرَ ، وَإِنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ بِغَيْرِ تَخَشُّعٍ أَبْطَل (3) .
__________
(1) حديث : " كان يصلي بالليل وله أزيز . . . " أخرجه أبو داود ( 1 / 557 ـ ط عزت عبيد دعاس ) والنسائي ( 3 / 13 ـ ط المكتبة التجارية ) .
(2) تبيين الحقائق 1 / 155 ، 156 ط دائرة المعرفة ، وفتح القدير 1 / 281 ، 282 ـ ط دار صادر .
(3) حاشية الشيخ علي العدوي على مختصر خليل ، وهي بهامش الخرشي 1 / 325 ، ط دار صادر ، وجواهر الإكليل 1 / 63 ، ومواهب الجليل 2 / 33 .
هَذَا وَقَدْ ذَكَرَ الدُّسُوقِيُّ أَنَّ الْبُكَاءَ بِصَوْتٍ ، إِنْ كَانَ لِمُصِيبَةٍ أَوْ لِوَجَعٍ مِنْ غَيْرِ غَلَبَةٍ أَوْ لِخُشُوعٍ فَهُوَ حِينَئِذٍ كَالْكَلاَمِ ، يُفَرَّقُ بَيْنَ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ ، أَيْ فَالْعَمْدُ مُبْطِلٌ مُطْلَقًا ، قَل أَوْ كَثُرَ ، وَالسَّهْوُ يُبْطِل إِنْ كَانَ كَثِيرًا ، وَيُسْجَدُ لَهُ إِنْ قَل (1) .
وَأَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ، فَإِنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ عَلَى الْوَجْهِ الأَْصَحِّ إِنْ ظَهَرَ بِهِ حَرْفَانِ فَإِنَّهُ يُبْطِل الصَّلاَةَ ؛ لِوُجُودِ مَا يُنَافِيهَا ، حَتَّى وَإِنْ كَانَ الْبُكَاءُ مِنْ خَوْفِ الآْخِرَةِ . وَعَلَى مُقَابِل الأَْصَحِّ :
لاَ يُبْطِل لأَِنَّهُ لاَ يُسَمَّى كَلاَمًا فِي اللُّغَةِ ، وَلاَ يُفْهَمُ مِنْهُ شَيْءٌ ، فَكَانَ أَشْبَهَ بِالصَّوْتِ الْمُجَرَّدِ (2) .
وَأَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَإِنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّهُ إِنْ بَانَ حَرْفَانِ مِنْ بُكَاءٍ ، أَوْ تَأَوُّهِ خَشْيَةٍ ، أَوْ أَنِينٍ فِي الصَّلاَةِ لَمْ تَبْطُل ؛ لأَِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الذِّكْرِ ، وَقِيل : إِنْ غَلَبَهُ وَإِلاَّ بَطَلَتْ ، كَمَا لَوْ لَمْ يَكُنْ خَشْيَةً ؛ لأَِنَّهُ يَقَعُ عَلَى الْهِجَاءِ ، وَيَدُل بِنَفْسِهِ عَلَى الْمَعْنَى كَالْكَلاَمِ ، قَال أَحْمَدُ فِي الأَْنِينِ : إِذَا كَانَ غَالِبًا أَكْرَهُهُ ، أَيْ مِنْ وَجَعٍ ، وَإِنِ اسْتَدْعَى الْبُكَاءَ فِيهَا كُرِهَ كَالضَّحِكِ وَإِلاَّ فَلاَ . (3)
__________
(1) حاشية الدسوقي على الشرح الكبير 1 / 284 ـ ط دار الفكر .
(2) نهاية المحتاج 2 / 34 ، وحاشية قليوبي وعميرة1 / 187 ، ومغني المحتاج 1 / 195 .
(3) الفروع 1 / 370 ، 371 .

MENANGIS SAAT SHOLAT

KALANGAN HANAFIYYAH BERPENDAPAT :
Bila sebab tangisannya kepedihan dan musibah batal sholatnya karena tangisan dianggap pembicaraan manusia, bila sebabnya ingat surga dan neraka tidak membatalkan sholat karena berarti menunjukkan tambahnya khusyu’ yang menjadi tujuan dalam sholat, tangisan seperti ini menduduki makna tasbih dan doa.

Menurut Abu Yusuf perincian di atas bila suara isak tersebut lebih dari dua huruf atau berupa dua huruf yang asal, sedang bila terdiri dari dua huruf tambahan atau salah satunya huruf asal dan lainnya huruf tambahan maka tidak membatalkan sholat baik tangisannya karena kepedihan atau mengingat akhirat.
Yang dimaksud huruf tambahan adalah huruf-huruf yang terkumpul dalam lafadz “AMAANUN WA TASHIILUN” (Tabyiin alhaqaaiq I/155, Fath alQadiir I/281-282)

KESIMPULAN DIKALANGAN MALIKIYYAH :
Tangisan dalam sholat adakalanya berupa suara adakalanya tidak,
Tangisan tanpa suara tidak membatalkan sholat, baik tangisan yang tidak mampu ia kendalikanseperti dirinya dikuasai oleh kekhusyuan atau musibah atau tangisan yang mampu ia kendalikanselagi tidak banyak.
Tangisan yang bersuara bila mampu ia kendalikan membatalkan sholat baik karena khusyu atau musibah sedang yang tidak mampu ia kendalikan bila karena rasa khusyu’ meskipun banyak tidak membatalkan, bila bukan karena rasa khusyu’ membatalkan. (Hasyiyah as-Syaikh ‘alii al-‘Adawy ala Mukhtashor Kholil I/325, Jawaahir al-ikliil I/63, Mawaahib aljalil II/33

Sedang menurut adDasuuQy tangisan dengan suara karena musibah/kepedihan atau karena kekhusyuan bila tanpa ia kendalikan hukumnya seperti halnya berbicara saat sholat dalam arti dibedakan hukumnya antara kesengajaan dan tidaknya, bila sengaja membatalkan sedikit ataupun banyak, sedang bila lalai/tanpa sengaja juga membatalkan bila tangisannya banyak dan disunahkansujud bila sedikit (Hasyiyah adDasuuqy alaa Syarh alkabiir I/284)

KALANGAN SYAFI'IYYAH BERPENDAPAT :
Tangisan dalam sholat menurut pendapat yang shahih bila sampai keluar dua huruf dalam tangisannya membatalkan sholat karena adanya hal yang menafikan sholat walau tangisan takut akan akhirat sekalipun, sedang menurut Muqaabil pendapat yang shahih tidak membatalkan karena tangisan tidak tergolong pembicaraan serta tidak dapat difahami, tangisan hanyalah serupa dengan suara murni (Nihayah almuhtaaaj II/34, Hasyiyah Qolyubi I/187, Mughni alMuhtaaj I/195)

KALANGAN HANABILAH BERPENDAPAT :
Mereka berpendapat bila tampak dua huruf dari tangisan, aduhan ketakutan atau rintihan dalam sholat tidak membatalkan karena dihukumi sebagaimana dzikiran.
Ada pendapat “hal itu bila menguasainya/tidak terkendali, bila mampu dikendalikan membatalkan seperti bila tangisannya tidak karena ketakutan (akhirat) karena berarti ia mengejek dalam sholatnya dan artinya dirinya mengerjakan pembicaraan.
Imam ahmad berkata dalam masalah rintihan “Bila menguasainya/tidak terkendali, aku membencinya, sedang bila dapat terkendali aku tidak membencinya (alFuruu’ I/370-371)

alMausuu’ah alFiqhiyyah VIII/181

Wallaahu A'lamu bis showaab

Menelan Sisa Makanan di Mulut Ketika Shalat

Menelan sisa makanan ketika shalat
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du:
Terkait sisa makanan yang berada di sela-sela gigi, ada dua hal yang bisa dijadikan acuan:
Pertama, masih melekat di gigi atau tidak sampai tertelan
Para ulama menegaskan bahwa ini bukan termasuk pembatal shalat, tidak pula pembatal puasa. Karena sisa makanan yang mengendap di mulut, bukan terhitung kegiatan makan.
Dalam Fatawa Nur Ala Ad-Darb, Imam Ibnu Baz menyatakan:
ما يوجد في الفم من آثار الطعام أو اللحم لا يضر الصلاة،
 سواء بقي أو أخرج أثناء الصلاة وطرحه في منديل أو في جيبه
“Sisa makanan atau sisa daging yang berada di mulut, tidak membatalkan shalat seseorang. Baik tetap melekat di mulut atau dia keluarkan di tengah-tengah shalat, kemudian dia letakkan di sapu tangan atau di sakunya.”
Sumber: http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=1869
Kedua, bagaimana jika sampai tertelan?
Sebagian ulama menegaskan, sisa makanan itu jangan sampai tertelan. Imam Ibnu Baz melanjutkan:
المقصود ما في الفم من آثار الطعام، أو آثار اللحم
في الأسنان لا يضر الإنسان، لكن لا يبتلعه، إذا أخرجه
 يلقيه في جيبه أو في منديل، وإن أبقاه في ضرسه أو في
 جيبه حتى يفرغ من الصلاة لم يضرها
Maksudnya, sisa makanan di mulut atau sisa daging di sela-sela gigi, tidak (membatalkan shalat) seseorang, akan tetapi jangan ditelan. Jika dia keluarkan, letakkan di saku atau sapu tangan. Jika tetap melekat di sela-sela gigi atau dia letakkan di sakunya, sampai shalat selesai, shalatnya tidak batal.
Sumber: http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=1869
Sementara itu, ulama lainnya menegaskan bahwa sisa makanan yang tertelan ini tidak membatalkan shalat. Karena tidak terhitung makan atau minum. Sebagaimana orang menelan ludah. Ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh Sulaiman al-Majid, sebagaimana penjelasan beliau dalam sebuah acara televisi.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syaikh Usamah al-Qusi, salah satu dai ahlus sunnah di Mesir.

Wallahu a`lam

Senin, 14 Oktober 2013

HUKUM MEMASUKAN JARI KE VAGINA ISTRI

Memasukkan Jari ke Vagina Istri

Bismillah. Suami-istri diperbolehkan untuk menikmati anggota badan masing-masing, agar bisa membangkitkan syahwat, selama menjauhi dubur dan kemaluan ketika haid atau nifas. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi seorang suami untuk memasukkan jarinya ke kemaluan istri. Terlebih jika ini dalam rangka memuaskan pasangan
Hanya saja, perlu dipahami bahwa para ulama mengingatkan, perbuatan semacam ini tidak sejalan dengan akhlak yang mulia dan tabiat yang baik.
Allah telah memberikan syariat terbaik dalam masalah ini, dengan dihalalkannyajima’ (hubungan intim). Sebagai hamba-Nya yang baik, selayaknya kita mencukupkan diri dengan hal-hal yang Allah halalkan.
Catatan: Jika yang disentuh adalah bagian luar kemaluan istri dan tidak sampai memasukkan jari, seperti memegang klitoris, atau kegiatan semacamnya, maka para ulama menegaskan bahwa hal itu diperbolehkan.
Allahu a’lam.

Rasulullah Memanjangkan Rambut, Benarkah???

Bismillahirrohmanirrohiim

Pertanyaan:
Saya dengar dalam kajian bahwa rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsampai menyentuh bahunya. Apakah ini benar? Kalau benar, apakah ini termasuk sunnah?
Jawaban:
Memang benar, rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam panjangnya sampai menyentuh bahunya, sebagaimana dalam banyak hadits, seperti:
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ يَقُوْلُ مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِيْ لِمَّةٍ أَحْسَنَ
 مِنْهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ
Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah.” Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (Hr. Muslim: 2337)
Adapun berkaitan dengan hukum memanjangkannya, maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu hukumnya sunnah.
Mereka berdalil bahwa hukum asal perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah ibadah, sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو
 اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Qs. Al-Ahzab: 21)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bagus dan dihukumi sebagai ibadah, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, beliau mengatakan (dalam al-Mughni: 1/119), “Hal ini (memanjangkan rambut bagi laki-laki) hukumnya sunnah. Seandainya kami mampu melakukannya, maka akan kami lakukan, tetapi ada faktor kesibukan dan biaya yang diperlukan.”
Pendapat ini dikuatkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memanjangkan rambutnya, padahal perbuatan ini perlu waktu (sibuk mengurusnya) dan perlu biaya (untuk minyak rambut dan semisalnya). Andaikan ini bukan sunnah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan susah payah melakukannya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa memanjangkan rambut hukumnya bukan sunnah, tetapi hanya sekadar adat kebiasaan, dan hukumnya mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak).
Pendapat ini didasari oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang mencukur sebagian rambut anaknya dan menyisakan sebagian lainnya, beliau mengatakan, “Cukurlah semua atau jangan dicukur semua!”
Andaikan memanjangkan rambut hukumnya sunnah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk mencukur, tetapi akan memerintahkan supaya dipanjangkan karena itu sunnah.
Adapun yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memanjangkan rambutnya karena adat-kebiasaan manusia saat itu memang demikian. Beliau tidak menyelisihi kaumnya, karena apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka dalam suatu perkara, berarti perkara itu adalah perkara yang disayariatkan (sunnah).
Akan tetapi, pada kenyataannya justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamai mereka. Ini menunjukkan bahwa perkara itu mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan), namun bukan termasuk sunnah.
Pendapat inilah yang lebih kuat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin dalamMandzumah Ushul Fikih wa Qawa’iduhu, hlm. 118–119.

Wallahu a`lam

Sabtu, 28 September 2013

RESEP AYAM GORENG

Bahan Baku Ayam Kentucky ala KFC:
ayam goreng kentucky
  • cuci bersih ayam 0,5 kg. Kalau bisa semuanya adalah daging paha.
  • Minyak goreng secukupnya untuk menggoreng ayam
  • garam satu sendok teh
  • lada halus sebanyak satu sendok teh
  • bawang putih sebanyak 2 siung
Bahan untuk Membuat Pelapis Cair Ayam Kentucky ala KFC :
  • telur ayam 1 butir. Ambil kuningnya saja
  • lada halus seperempat sendok teh
  • garam seperempat sendok teh
  • vetsin seperempat sendok teh
  • baking soda seperempat sendok teh, digunakan sebegai pengembang dan perenyah ayam goreng
  • tepung terigu 150 gr (seratus lima puluh mili gram)
  • air dingin 150 ml (seratus lima puluh mili liter)
  • tepung maizena 20 gr (dua puluh gram)
Bahan untuk Membuat Pelapis Kering Ayam Kentucky ala KFC :
  • tepung terigu 200 gr (dua ratus gram), pilih yang tinggi protein
  • tepung maizena 50 gr (lima puluh gram)
  • baking soda seperempat sendok teh, sebagai pengembang dan perenyah ayam goreng
  • bubuk kaldu instan seperempat sendok teh, pilih yang rasa ayam
  • bawang putih 2 siung
  • vetsin seperempat sendok teh, sebagai penguat rasa
Tahap-tahap Membuat Ayam Kentucky ala KFC :
  1. Semua bahan pelapis cair dicampur dan aduk sampai merata. Tambahkan kuning telur dan air sedikit demi sedikit, aduk lagi sampai merata. Kemudian masukkan ke dalam lemari es atau jika tidak punya, tempatkan pada tempat yang agak dingin.
  2. Bahan-bahan yang dipakai untuk membuat pelapis kering juga dicampur semuanya.
  3. Lumuri daging ayam dengan garam, bawang putih, serta lada, lalu aduk sampai merata. Biarkan selama kurang lebih 10 menit sampai benar-benar meresep.
  4. Campurkan daging pada pelapis kering dengan mengguling-gulingkannya sampai semua daging terlapisi tepung. Lalu masukkan daging pada pelapis cair.
  5. Kemudian daging diguling-gulingkan lagi ke dalam pelapis kering. Jika sudah benar-benar tercampur dengan bahan pelapis, saatnya untuk menggoreng.
  6. Panaskan minyak goreng pada wajan lalu masukkan potongan-potongan ayam dan goreng sampai berwarna kekuning-kuningan. Angkat dan sajikan.                                                             ikuti survey berbayar 
    http://id.ipanelonline.com/register?inviter_id=2128235